Eric Wibisono
ABSTRACT
Manufacturing systems that are
often classified as push and pull often invite question: “How far do the
differences between those two systems exist?” Many researches have been carried
out but succinct answer to the above question is always difficult to reach. The
difficulty roots from the variety of definition of the push and pull systems
itself and also from the variety of complexity of a manufacturing system.
This paper attempts to study the
differences in performance between push and pull systems in a relatively simple
model that consists of 4 serial processors with buffers located between these processors.
Variations being modelled is on the setting of the system’s load (high and low)
and the buffer size with performance being measured include machine utilization,
number of outputs and mean flow time of jobs. The approach used is simulation
using ProModel software as the tool. From the experiments it can be derived
that buffer size turns out to be a very critical factor in system performance.
Moreover, it is also proved that when the buffer size is large, push and pull systems
do not differ significantly.
Keywords: push-pull systems, simulation,
buffer.
1. PENDAHULUAN
Sejak kemunculan konsep just-in-time
(JIT) production di Jepang, sistem manufaktur kemudian seringkali
dikategorikan menjadi 2 kutub yaitu push dan pull. JIT yang
dianggap sebagai representasi dari sistem manufaktur pull umumnya dikontradiksikan
dengan sistem manufaktur push yang sering diasosiasikan dengan sistem material
requirements planning (MRP). Kedua kutub ini dianggap bertolak belakang karena
satu perbedaan mendasar yaitu bahwa sistem manufaktur push membutuhkan ketersediaan
inventori untuk mendukung kelancaran proses produksi, sedangkan sistem
manufaktur pull menghendaki
ketiadaan inventori karena dipandang sebagai beban biaya. Banyak penelitian
telah dilakukan untuk membandingkan kedua sistem tersebut dan seringkali
argumen-argumen yang berbeda muncul dalam pembahasan baik dalam hal definisi
maupun kinerja. Kenyataannya, tidak jarang suatu sistem manufaktur berskala
besar menerapkan kedua pendekatan di atas secara bersamaan pada subsistem-subsistem
yang lebih kecil di dalamnya. Toyota misalnya, yang sering diacu sebagai
referensi sistem pull klasik, menerapkan sistem push pada proses
pembuatan mobil berdasarkan analisis pasar dan penetapan target produksi.
Tetapi pada proses perakitan di dalamnya diterapkan sistem pull untuk
memastikan ketersediaan komponen-komponen subassembly. Sebaliknya pada sistem-sistem
MRP tidak jarang pula terdapat mekanisme pull pada aliran informasi
dalam prosesnya. Karena itu wajar
jika pertanyaan “apakah sesungguhnya sistem manufaktur push dan pull berbeda?”
seringkali diajukan dalam berbagai penelitian. Mengingat variasi berbagai sistem
manufaktur di dunia ini yang sangat beragam, jawaban yang lugas atas pertanyaan
tersebut sulit diperoleh. Jika penerapan sistem pull kurang begitu
berhasil tak jarang yang dianggap sebagai penyebabnya adalah pemahaman terhadap
filosofi penerapan JIT yang lemah. Sementara itu pada implementasi sistem push
yang berkinerja buruk, yang kerap dituding sebagai penyebab adalah masalah
inventori.
Makalah ini mencoba mempelajari
perbedaan antara sistem manufaktur push dan pull dari suatu
setting lantai produksi yang memiliki karakteristik tertentu. Sistem yang diamati
adalah suatu proses serial sederhana yang terdiri dari 4 prosesor dengan
bufferbuffer yang terletak di antara masing-masing prosesor. Parameter yang
diamati adalah utilisasi mesin, jumlah output, dan rata-rata waktu tinggal job
(mean flow time) dan pendekatan yang dipakai adalah simulasi menggunakan alat
bantu software ProModel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat sejauh
mana terdapat perbedaan antara sistem manufaktur push dan pull,
dan pada kondisi bagaimana perbedaan-perbedaan tersebut terjadi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Sulit didapatkannya kesimpulan
yang umum dan uniform dari berbagai penelitian yang membandingkan sistem
manufaktur push dan pull sebagian besar disebabkan karena perbedaan
definisi dari keduanya yang kurang jelas. Venkatesh (1996) memandang perbedaan
antara keduanya sekedar sebagai paradigma operasional. Pada sistem push,
sebuah mesin melakukan proses produksi tanpa harus menunggu permintaan dari
mesin yang akan melakukan proses berikutnya. Sebaliknya pada sistem pull,
sebuah mesin proses selanjutnya. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Goddard dan Brooks (1984), sistem push dan pull diasosiasikan
dengan aliran informasi. Mereka mendefinisikan push sebagai aksi untuk
mengantisipasi kebutuhan, sedangkan pull sebagai aksi untuk
melayani permintaan. Penelitian
lain oleh Villa dan Watanabe (1993) selanjutnya menggambarkan kaitan sistem push
dengan proses manajemen dalam upaya mengurangi risiko stock-out, sedangkan
sistem pull sebagai suatu proses produksi yang mengalir dengan
ekspektasi inventori sekecil mungkin. Perbedaan definisi-definisi ini sedikit banyak
mempengaruhi karakteristik dari penelitian-penelitian yang disebutkan di atas, yang
pada akhirnya juga berpengaruh pada kesimpulan.
3. DESAIN EKSPERIMEN
Model sistem produksi yang
disimulasikan dalam penelitian ini merupakan model yang relatif sederhana
dengan 4 stasiun kerja dan 4 buah buffer penyangga. Tiga buffer penyangga yang
pertama diletakkan di antara stasiun-stasiun kerja yang ada sedangkan buffer
terakhir dipakai untuk mengantisipasi permintaan yang datang dari luar sistem (berfungsi
seperti gudang barang jadi). Sistem produksi yang disimulasikan merupakan sistem
produksi flow shop murni dan produk yang dibuat hanya satu jenis sehingga tidak
diperlukan proses setup. Simplifikasi ini dilakukan agar perbedaan
karakteristik antarasistem manufaktur push dan pull yang
dilukiskan dalam model lebih mudah dilihat dan dianalisis. Alur proses produksi
dapat dilihat pada Gambar 1 di mana selain 4 stasiun kerja dan 4 buah buffer
juga terdapat gudang bahan baku (raw storage) dan satu buah lokasi tambahan
(order queue) sebagai tempat transit sementara bagi permintaan yang datang dan
belum terpenuhi.
Order datang ke dalam sistem
dengan waktu antar kedatangan memiliki distribusi eksponensial. Mean dari
distribusi waktu antar kedatangan ini dicoba pada 2 level yaitu 10 menit dan 25
menit. Level 10 menit dimaksudkan untuk memberikan load yang padat bagi sistem
sedangkan sebaliknya untuk level 25 menit akan menyebabkan load yang rendah
pada sistem. Jumlah job yang harus dikerjakan setiap kali order datang
bervariasi dengan distribusi sebagai berikut: 3 job sebanyak 10%, 4 job
sebanyak 20%, 5 job banyaknya 40%, 6 job sebesar 20%, dan 7 job sebanyak 10%. Pada
sistem manufaktur push, informasi order yang masuk langsung ditujukan
pada stasiun kerja pertama dari sistem. Stasiun kerja ini kemudian langsung
meminta material dari gudang bahan baku sejumlah banyaknya job yang diminta
dari order tersebut dan kemudian memprosesnya.
Pada sistem manufaktur pull,
informasi order yang masuk ditujukan pada stasiun kerja terakhir (gudang barang
jadi). Apabila pada lokasi tersebut produk jadi tidak tersedia, maka informasi
akan disampaikan kepada stasiun kerja sebelumnya untuk melakukan aktivitas
produksi. Jumlah yang diminta untuk diproduksi tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan sehingga besarnya buffer di antara stasiun kerja dapat selalu
dikontrol. Setiap kali buffer berkurang dari jumlah yang disyaratkan, informasi
akan selalu disampaikan kepada stasiun kerja yang berada sebelum buffer
tersebut untuk
memroses sejumlah yang dibutuhkan
untuk mencukupi batas atas dari buffer. Alur informasi yang mundur ke depan
inilah yang menjadi ciri dari sistem manufaktur pull yang dimodelkan
pada penelitian ini.
4. HASIL SIMULASI DAN ANALISIS
Penulisan hasil-hasil simulasi di
bawah ini ditulis menggunakan kode skenario pusha-b atau pulla
-b yang berarti:
§ push/pull menunjukkan
sistem manufaktur yang disimulasikan,
§ a menunjukkan ukuran
buffer,
§ b menunjukkan rata-rata
waktu antar kedatangan order.
4.1 Utilisasi Mesin
Dari simulasi yang dilakukan
didapatkan hasil yang bervariasi. Untuk utilisasi mesin, pada skenario dengan
rata-rata distribusi waktu antar kedatangan 10 menit didapatkan suatu pola yang
seragam untuk semua stasiun kerja. Utilisasi terendah selalu dialami oleh
sistem pull dengan kapasitas buffer 2 unit, kemudian diikuti oleh sistem
push dengan kapasitas buffer yang sama, dan tertinggi adalah sistem
dengan kapasitas buffer 5 baik untuk sistem push dan pull yang tidak
tampak memiliki perbedaan. Sedangkan untuk load sistem yang agak ringan dengan
melonggarkan waktu antar kedatangan order, utilisasi mesin tidak tampak
memiliki perbedaan yang signifikan.
4.2 Jumlah Output
Seperti halnya utilisasi mesin,
kinerja sistem yang diukur dari jumlah keluaran menunjukkan pola yang hampir
serupa. Pada load sistem yang padat dengan waktu antar kedatangan order 10
menit, rata-rata keluaran dari sistem pull dengan buffer 2 unit adalah yang
terendah, disusul oleh sistem push dengan buffer yang sama, sedangkan
baik sistem push dan pull dengan buffer sebesar 5 unit tampak memiliki
kesamaan hasil. Sementara itu untuk load sistem ringan (waktu antar kedatangan
order 25 menit) diperoleh hasil yang tidak berbeda secara signifikan dari
seluruh skenario yang dibandingkan. Hasil lengkapnya adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil Simulasi untuk Jumlah Output
|
Rata-rata antar kedatangan order 10 menit
|
Rata-rata antar kedatangan order 25 menit
|
||||||
Push 2-10
|
Push 5-10
|
Pull2-10
|
Push 5-10
|
Push 2-25
|
Push 5-25
|
Pull2-25
|
Push 5-25
|
|
Mean
|
932.5
|
951.8
|
915.7
|
948.7
|
460.9
|
477.5
|
480.7
|
466.7
|
S.d.
|
6.6
|
4.2
|
5.8
|
4.1
|
62.6
|
47.8
|
46.1
|
43.4
|
95% CI
|
927.8 937.2
|
948.8 954.8
|
911.6 919.8
|
945.8 951.6
|
416.1 505.7
|
443.3 511.7
|
447.7 513.7
|
435.7 497.7
|
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Bila dicermati lebih jauh akan
terlihat bahwa pola-pola tersebut sangat bergantung pada ukuran buffer. Pada
buffer berukuran kecil (2 unit), utilisasi mesin dan jumlah output pada sistem push
dengan load padat adalah lebih tinggi daripada sistem pull, sedangkan
rata-rata waktu tinggal job pada sistem pull dengan load ringan adalah
lebih besar daripada sistem push. Kesimpulan penting yang perlu dicatat
dari penelitian ini adalah bahwa pada sistem dengan buffer berukuran besar (5
unit), kinerja dari sistem push dan pull ternyata tidak berbeda
secara signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar ukuran buffer
memiliki pengaruh yang cukup penting pada kinerja sistem push dan pull.
Untuk pengembangan penelitian ini lebih lanjut, penulis menyarankan untuk memasukkan
faktor-faktor lain yang banyak berpengaruh di sistem produksi riil seperti kerusakan
mesin. Hal ini akan menjadi kajian yang cukup menarik mengingat peranan buffer
yang umumnya memang difungsikan untuk memperhalus aliran proses produksi yang
terputus-putus yang mungkin disebabkan oleh faktor kerusakan mesin. Pengembangan
penelitian juga dapat dilakukan dengan memperluas kompleksitas lantai produksi.
DAFTAR PUSTAKA
Venkatesh, K., M.-C. Zhou, M. Kaighobadi, R.
Caudill, 1996. “A Petri-net approach to
investigating
push and pull paradigms in flexible factory automated systems”,
International
Journal of Production Research,
34 (3), 595-620.
Goddard W.E., R.B. Brooks, 1984. ”Just-in-time: a
goal for MRP II, Readings in Zero
Inventory”, Conference Proceedings APICS .
Villa, A., T. Watanabe, 1993. “Production
management: beyond the dichotomy between
‘push’
and ‘pull’”, Computer Integrated Manufacturing Systems, 6 (1),
53-63.
Goldratt, E.M., J. Cox, 1993. The Goal: A Process
of Ongoing Improvement, 2nd ed.,
Gower
Publishing Co., Aldershot, England.
Bonney, M.C., N. Huang, M.A. Head, C.C. Tien, R.J.
Barson, 1996. “Inventory and
Enterprise
Integration”, International Journal of Production Economics, 45, 91-99.
Fogarty, D.W., J.H. Blackstone, Jr., T.R. Hoffman,
1991. Production and Inventory
Management, 2nd ed., South-Western Publishing
Co., Cincinnati, Ohio.
Miltenburg, J., 1997. “Comparing JIT, MRP and TOC,
and embedding TOC into MRP”,
International
Journal of Production Research,
35 (4), 1147-1169.
Bonney, M.C., Z. Zhang, M.A. Head, C.C. Tien, R.J.
Barson, 1999. “Are push and pull
systems
really so different?”, International Journal of Production Economics,
59,
53-64.
link :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar